rameinaja.id – Perdana Menteri India, Narendra Modi, akan melakukan kunjungan resmi ke China untuk menghadiri pertemuan tingkat tinggi Shanghai Cooperation Organisation (SCO). Kunjungan ini menandai perjalanan pertamanya ke China setelah tujuh tahun terakhir, di tengah ketegangan yang meningkat antara India dan Amerika Serikat.
Modi dijadwalkan berangkat ke Kota Tianjin untuk menghadiri KTT SCO yang dimulai pada 31 Agustus. Kunjungan ini menjadi kunci untuk meredakan ketegangan yang muncul setelah bentrokan militer di perbatasan Himalaya pada tahun 2020.
Kunjungan Perdana ke China Setelah Krisis Perbatasan
Kunjungan Modi ke China menjadi penting setelah hubungan antara China dan India mengalami kemunduran drastic. Sejak bentrokan militer di perbatasan Himalaya pada tahun 2020, kedua negara mengalami situasi diplomatik yang penuh ketegangan.
Menurut laporan Reuters, ini adalah kali pertama Modi mengunjungi China setelah Juni 2018, menyoroti kompleksitas hubungan antar negara di tengah masalah teritorial yang belum sepenuhnya terselesaikan. Kedua negara perlu menemukan cara untuk mengatasi permasalahan ini agar tidak semakin memperburuk situasi yang ada.
Tensi Hubungan India dan Amerika Serikat
Kunjungan ke China juga terjadi di tengah ketegangan yang meningkat antara India dan AS, khususnya setelah kebijakan tarif tinggi yang diterapkan oleh Presiden Donald Trump. Beberapa bulan terakhir, India mengalami apa yang disebut sebagai ‘krisis paling serius’ dengan AS akibat penerapan tarif impor tinggi pada produk asal India.
Trump telah menetapkan tarif impor mencapai 50 persen dan mengancam tindakan lebih lanjut jika India tetap melanjutkan pembelian minyak dari Rusia. Situasi ini semakin merumit hubungan diplomatik antara kedua negara yang sebelumnya menjalin kerja sama erat.
Dampak Ekonomi atas Kebijakan Tarif
Dampak dari kebijakan tarif tinggi yang diterapkan oleh Trump diperkirakan akan signifikan bagi ekonomi India. India mengantisipasi bahwa langkah tersebut dapat merugikan ekspor mereka senilai sekitar US$64 miliar, yang merupakan 80 persen dari total ekspor mereka ke AS.
Ketidakpastian ini memicu kekhawatiran di kalangan pebisnis dan ekonom Indonesia. Mereka mendesak perlunya dialog lebih lanjut untuk membahas isu-isu perdagangan yang menjadi sumber ketegangan, agar kedua negara dapat menemukan solusi yang saling menguntungkan.